Krisis
multidimensional yang menggelayut bangsa ini tidak juga menunjukkan
tanda-tanda kapan akan berakhir. Rasanya kita skeptis dan pesimis dengan
masa depan bangsa ini. Berbagai upaya menuju keadaan lebih baik tidak
kunjung memberi harapan dan kepastian akan keberhasilan. Memandang masa
depan merupakan keharusan di tengah ketidakpastian yang menyelimuti
bangsa ini.
Namun,
seolah kita menatap ke masa depan dalam ketidakpastian dan keraguan,
masihkah ada harapan menuju keadaan baru yang lebih baik. Tragedi
kekerasan dan main hakim sendiri, ancaman terorisme, konflik
elit politik, kecelakaan lalu lintas yang bertubi-tubi akibat penggunaan
narkoba, dan berbagai peristiwa sosial menyedihkan lain menjadi mozaik
yang menambah rentetan secara kelam bangsa ini.
Tragisnya,
keadaan bangsa ini semakin runyam, para pemimpin bangsa atau para
penegak hukum yang menjadi pemandu bangsa keluar dari masalah-masalah
yang melilit justru menempatkan diri menjadi bagian dari masalah yang
harus diselesaikan. Justur mereka menjadi trouble maker
(pembuat masalah). Dalam konteks ini, kita kehilangan figur pemimpin
yang mampu membawa bangsa ini menuju perbaikan-perbaikan menjanjikan.
Yang ada para pemegang kekuasaan terjerat kasus korupsi. Kini, korupsi
menjadi tontonan publik yang memalukan.
Menjadi pertanyaan besar di benak kita, mengapa korupsi di negeri ini telah membudaya di kalangan elit atas (mainstream)? Seorang pemerhati budaya, Paulus Mujiran, meyatakan dalam bukunya Krikil-Krikil di Masa Transisi,
hal itu disebabkan, pola kepemimpinan di negara ini masih menganut
paham paternalistik. Ketika pemimpin dalam sebuah negara atau instansi
melakukan KKN, serta merta anak buahnya melakukan hal yang sama. Justru
kalau ada anak buah yang kedapatan tidak berkorupsi, malahan divonis
tidak loyal pimpinan, tidak taat, malahan pangkatnya tidak dinaikkan.
Sungguh ironis.
Dari
sisi akibat korupsi, korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan
manusia, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi, dan
individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan bak kanker dalam darah, sehingga
si empunya badan harus selalu melakukan “cuci darah” terus menerus jika
ia menginginkan dapat hidup terus.
Bahaya
korupsi terhadap individu dan masyarakat dapat dijelaskan bahwa jika
korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela, maka akibatnya akan
menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada
sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam
masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri dan tidak akan ada
kerjasama dan persaudaraan yang tulus.
Korupsi
juga membahayakan terhadap moral dan intelektual masyarakat. Ketika
korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemuliaan dalam
masyarakat. Dalam hal ini, korupsi dapat menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism
(Theobald, 1990: 112). Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta
demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan
perkembangan masyarakat terus menurun dan mungkin hilang.
Dalam
jangka panjang, korupsi dapat merusak generasi muda. Betapa tidak,
negara yang korupsi telah menjadi makanan sehari-harinya, pemuda tumbuh
dengan pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap
bahwa korupsi sebagai hal biasa, sehingga perkembangan pribadinya
menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak bertanggungjawab.
Jika generasi muda suatu bangsa keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan
betapa suramnya masa depan bangsa tersebut.
Dari
sisi ekonomi, korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika
suatu projek ekonomi dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi
misalnya, penyuapan untuk kelulusan projek, maka pertumbuhan ekonomi
yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan tercapai
Bahaya korupsi terhadap politik dan birokrasi, jika praktik korupsi telah membudaya dalam politik seperti pemilu curang, money politics,
dan sebagainya dapat menyebabkan keroposnya bahkan rusaknya demokrasi,
karena untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup itu akan
menggunakan kekerasan atau menyebarkan korupsi lebih luas lagi di
masyarakat. Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu
terjadinya instabilitas sosial politik dan integrasi sosial, karena
terjadi pertentangan antara penguasa dan rakyat. Sementara dari segi
birokrasi, korupsi menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan
meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah
dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar
birokrasi yang rasional, efisien, dan berkualitas tidak akan pernah
terealisasi. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan
publik. Hanya orang yang berduit saja yang akan dapat layanan baik
karena mampu menyuap. Keadaan ini dapat menyebabkan merebaknya keresahan
sosial, dikebirinya keadilan sosial dan selanjutnya mungkin kemarahan
sosial.
Dari perspektif realitas sosial tersebut, korupsi merupakan bahaya laten yang sangat membayahakan keberlangsungan kehidupan manusia
dari berbagai aspeknya, baik aspek politik, sosial, ekonomi, birokrasi,
individu dan masyarakat, dan bahkan moral generasi muda.
Dalam
kondisi seperti itu menjadi jelas pertanyaan bagi kita, apa yang bisa
kita lakukan untuk membawa Indonesia keluar dari krisis korupsi yang tak
berujung? Di tengah ancaman krisis seperti itu, hanya nuranilah yang
masih mampu menyuarakan kebenaran.
Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2013
No comments:
Post a Comment