Wednesday, January 22, 2014

Gerakan Anti Korupsi, Optimistis Menuju Kondisi Lebih Baik


Korupsi tidak membuat masyarakat sejahtera. Hal ini dikarenakan  tindakan korupsi merampas hak ekonomi masyarakat untuk hidup lebih baik. Birokrat sebagai abdi masyarakat seharusnya melayani rakyat, bukan  sebaliknya mendapatkan atau mengharapkan “kelebihan”  dari mayarakat. Demikian setidaknya yang dapat kita pantau dalam perbincangan publik sehari-hari.
Dalam dekade pasca reformasi atau sepuluh tahun berjalan upaya-upaya untuk mengurangi perilaku koruptif ini telah dilakukan. Hasilnya dapat kita lihat dalam pemberitaan korupsi yang marak di berbagai media, baik media cetak, online maupun media elektronik. Dalam pemberitaan ini tampak adanya aspek penegakan hukum terhadap perilaku korupsi. Kasus-kasus korupsi yang menimpa pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif diberitakan telah disidangkan, atau pelakunya dihukum dan dipenjarakan. Sayangnya dalam pemberitaan tersebut persepsi yang seringkali muncul adalah maraknya (kuantitas) tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat ini. Bukan aspek positifnya yaitu proses penegakan hukum terhadap tindak kejahatan korupsi ini.
Persepsi ini berpotensi menyumbang munculnya sikap pesimismtis terhadap langkah-langkah pemberantasan korupsi. Juga mengakibatkan rasa putus asa di kalangan warga yang dikhawatirkan memunculkan persepsi kedua, yaitu tentang kegagalan dalam upaya membangun negara ini. Ada baiknya kiranya cara pandang terhadap hingar bingar pemberitaan tentang korupsi ini di balik dengan menggunakan kaca mata  optimistis atau positif. Pandangan optimistis ini secara psikologis menciptakan persepsi positif bahwa korupsi sebagai suatu tindakan yang berkategori anemy atau “dosa” di dalam NKRI, dan bukan sebaliknya sebagai budaya yang biasa dan boleh dilakukan. Sikap positif ini secara psikologis membantu langkah pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif. Cara pandang pesimistis ini secara psikologis menjadi penghambat untuk melangkah pemberantasan korupsi lebih lanjut. Di samping menutupi capaian-capaian gerakan anti korupsi selama ini dilakukan.
Orang menyatakan korupsi makin banyak, karena banyaknya pemberitaan yang dilansir media massa. Pendapat ini tidak salah, karena memang telah terjadi proses pemberantasan  kosupsi, makanya muncul banyak berita tentang korupsi di sana-sini. Dilihat dari kacamata pesimistis dinyatakan bahwa semakin marak tindak kejahatan korupsi di tanah air. Namun, pemberitaan ini juga dapat dilihat dari sisi optimistis, yaitu telah terjadi langkah-langkah penegakan hukum terhadap tindakan korupsi yang semakin efektif. Maraknya berita tentang kasus korupsi juga didukung oleh tidak adanya sensor di media massa seperti era sebelumnya. Bahwa pemberitaan korupsi mulai menyentuh pada wilayah-wilayah yang dahulu tidak dapat disentuh. Pers semakin bebas memberitakan kejadian-kejadian atau  kasus-kasus korupsi, sehingga semakin dapat diungkap. Cara pandang seperti ini penting  untuk dilakukan ditengah hiruk pikuknya pemberitaan korupsi yang menyumbang nada pesismis, yang dikhawatirkan memunculkan – menurut istilah Anis Baswedan -- tsunami pesimisme.
Capaian dibidang pemberantasan korupsi di Indonesia sangatlah bagus. Menurut Prof. Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, setidaknya terdapat lima indikator terkait fakta-fakta kemajuan di Indonesia terutama di kaitkan dengan penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi. Kelima faktor ini merupakan pondasi bagi pemberantas korupsi, yaitu: pertama, Indonesia menjadi lebih demokratis; kedua, regulasi anti korupsi lebih baik; ketiga Institusi korupsi lebih baik; keempat, pers lebih baik; kelima, partisipasi publik lebih baik.
Pertama, Indonesia menjadi lebih demokrastis. Fakta yang ada Indonesia menuju ke arah  negara yang demokratis sesungguhnya, yaitu negara yang dimiliki rakyatnya, untuk rakyatnya dan dikelola oleh rakyat. Mayoritas pendapat di Indonesia dan dunia menyatakan bahwa terjadi proses demokratisasi. Indonesia menjadi negara yang demokratis di bandingkan dengan era sebelumnya. Indonesia menjadi negara muslim terbesar yang demokratis. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin di negeri ini, pers semakin bebas, tanpa adanya UU Subversif, tidak ada lagi dwi fungsi ABRI.
Antara demokrasi dan anti korupsi terdapat hubungan lurus. Semakin demokratis sebuah negara semakin anti korupsi. Hal ini dikarenakan terjadinya korupsi disebabkan oleh adanya sistem yang tertutup dan tidak terkontrol. Sistem tidak terkontrol ini biasanya terdapat pada kekuasaan yang mutlak. Demokrasi menjadi penting sebagai sistem politik yang anti kewenangan absolut yang biasanya berada di tangan satu orang (authoritarian). Terdapat pameo yang mengatakan “kekuasaan cenderung korup”, barangkali kekuasaan yang absulut lebih menyembunyikan perilaku korup tersebut. Indonesia yang lebih demokratis diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi itu. Makin tranparan atau  terbuka  sistem politik maka negara semakin sehat dan semakin anti korupsi.
Indeks Demokrasi Indonesia versi IEU menempatkan pada rangking ke 60 pada tahun 2010. Peringkat 60 ini kalau dilihat dari jumlah deretan angkanya merupakan hal yang besar. Namun apabila diihat dari sisi progresnya, maka merupakan kemajuan yang sangat berarti. Dibandingkan tahun sebelumnya tahun 2008 Indonesia berada di peringkat 69. Juga lebih baik di bandingkan dengan negara tetangga, posisi Malaysia (peringkat 71), Singapore peringkat 82 di tahun 2010.
Kedua, regulasi anti korupsi lebih baik. Sejak awal reformasi telah terbentuk berbagai undang-undang yang berhubungan dengan gerakan anti korupsi. Undang-undang tersebut seperti UU Mahkamah Konstitusi,  UU Tipikor, UU KPK, UU Ratifikasi UNCAC, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Pengadilan Tipikor, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU TTPU,  UU Komisi Yudisial, UU MLA, Peraturan Presiden Nomor 49 tahun 2009 tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI, Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi. Perundang-undangan tersebut mendukung gerakan anti korupsi di Indonesia.
Ketiga, Institusi korupsi lebih baik. Kelembagaan yang diperlukan untuk pemberantasan korupsi telah terbentuk. Pada saat ini telah terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Pengadilan Tipikor, Mahkamah Konstitusi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga-lembaga ini sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Keempat, Pers lebih baik. Pers memiliki kebebasan sepenuhnya. Berbagai berita  dapat diberitakan tanpa ada kekhawatiran dicabut ijinnya atau dibredel seperti terjadi di era sebelumnya. Memang terdapat kasus-kasus kekerasan terhadap insan pres di beberapa daerah, namun kejadian ini lebih bersifat kasuistik yang juga terjadi di belahan negara manapun. Kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan seperti ini tidak merupakan gejala umum di Indonesia.  Rangking terkait kebebasan pers di Indonesia semakin bagus dari tahun ke tahun. Kebebasan Pers Indonesia menurut Freedom House, pada tahun 2004 berada di rangking 119, sedangkan tahun 2012 berada di rangking 97. Urutan rangking menunjukkan semakin rendah rangkinya semakin baik.
Kelima, partisipasi publik lebih baik. Ditandai dengan keikutsertakan lembaga-lembaga non pemerintah atau NGO seperti  Indonesia Corruption Watch (ICW), International Transparancy Indonesia (TII), Pukat UGM, Community Tranparancy Indonesia (MTI). Transparansi Internasional menyatakan bahwa persepsi publik  yang diukur dalam Coruption Perception Indeks (IPK) Indonesia di kalangan negara Asean naik 1,0%, dari +2,0% di tahun 2004 menjadi +3,0 di tahun 2011. Walaupun kenaikan ini 1%, kondisi lebih bagus dibandingkan negara negara Asean lainnya, seperti Kamboja (+0,4%), Filipina (0%),  Singapura (-0,1%), bahkan Malaysia sebesar (-0,7%).

No comments: