Di kalangan masyarakat awam, istilah scaffolding atau
perancah tampaknya lebih dipahami sebagai sebuah istilah yang
berhubungan teknik konstruksi bangunan, yaitu upaya memasang susunan
bambu/kayu balok/besi sebagai tumpuan sementara ketika sedang membangun
sebuah bangunan, khususnya bangunan dalam konstruksi beton. Ketika
konstruksi beton dianggap sudah mampu berdiri kokoh, maka susunan
bambu/kayu balok/besi itu pun akan dicabut kembali. Dalam konteks
pembelajaran, penggunaan istilah scaffolding atau perancah ini
tampaknya bisa dianggap relatif baru dan semakin populer bersamaan
dengan munculnya gagasan pembelajaran aktif yang berorientasi pada teori
belajar konstruktivisme yang dikembangkan oleh Lev Vygotsky, sang pelopor Konstruktivisme Sosial.
Secara sederhana, pembelajaran scaffolding
dapat diartikan sebagai suatu teknik pemberian dukungan belajar secara
terstruktur, yang dilakukan pada tahap awal untuk mendorong siswa agar
dapat belajar secara mandiri. Pemberian dukungan belajar ini tidak
dilakukan secara terus menerus, tetapi seiring dengan
terjadinya peningkatan kemampuan siswa, secara berangsur-angsur guru
harus mengurangi dan melepaskan siswa untuk belajar secara mandiri.
Jika siswa belum mampu mencapai kemandirian dalam belajarnya, guru
kembali ke sistem dukungan untuk membantu siswa memperoleh kemajuan
sampai mereka benar-benar mampu mencapai kemandirian. Dengan demikian,
esensi dan prinsip kerjanya tampaknya tidak jauh berbeda dengan scaffolding dalam konteks mendirikan sebuah bangunan. Pembelajaran Scaffolding sebagai sebuah teknik bantuan belajar (assisted-learning) dapat dilakukan pada saat siswa merencanakan, melaksanakan dan merefleksi tugas-tugas belajarnya.
Jamie McKenzie mengemukakan 8 (delapan) karakteristik pembelajaran scaffolding: (1) provides clear directions; (2) clarifies purpose; (3) keeps students on task; (3) offers assessment to clarify expectations; (4) points students to worthy sources; (5) reduces uncertainty, surprise and disappointment; (6) delivers efficiency; (5) creates momentum.
Secara operasional, pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan berikut:
- Melaksanakan asesmen kemampuaan awal dan taraf perkembangan setiap siswa untuk menentukan Zone of Proximal Development (ZPD), yakni wilayah perkembangan siswa yang masih berpotensi dan berpeluang untuk ditingkatkan dan dioptimalkan melalui bantuan guru, teman, atau lingkungan pembelajaran tertentu, termasuk di dalamnya pemanfaatan teknologi .
- Menjabarkan tugas-tugas dan aktivitas belajar secara rinci sehingga dapat membantu siswa melihat zona yang perlu di-scaffold.
- Menyajikan struktur/tugas belajar secara jelas dan bertahap sesuai taraf perkembangan siswa, yang dapat dilakukan melalui: penjelasan, dorongan (motivasi), dan pemberian contoh (modeling).
- Mendorong siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.
Sementara itu, Applebee dan Langer mengidentifikasi 5 (lima) langkah pembelajaran scaffolding yaitu:
- Intentionally; mengelompokkan bagian kompleks yang hendak dikuasai siswa menjadi beberapa bagian yang spesifik dan jelas dan merupakan satu kesatuan yang utuh untuk mencapai kompetensi secara utuh.
- Appropriateness; memfokuskan pada pemberian bantuan pada aspek-aspek yang belum dikuasai siswa secara maksimal.
- Structure; memberikan model agar siswa dapat belajar dari model yang ditampilkan. Model tersebut dapat diberikan melalui proses berfikir, diverbalkan dalam kata-kata, atau melalui perbuatan. Kemudian, siswa diminta untuk menjelaskan apa yang telah dipelajari dari model tersebut.
- Collaboration; melakukan kolaborasi dan memberikan respons terhadap tugas yang dikerjakan siswa.
- Internalization: memantapkan pemilikan pengetahuan yang dimiliki siswa agar dikuasainya dengan baik dan menjadi bagian dari dirinya.
Dari langkah-langkah tersebut, inti pembelajaran scaffolding sesungguhnya terletak pada tahap structure dan tingkat kesuksesan penerapannya akan banyak ditentukan dari penentuan Zone of Proximal Development yang akan dibantu.
Di lain pihak, Alibali (2006) memberikan saran yang lebih teknis terkait dengan penerapan pembelajaran scaffolding, sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
Advance organizer
Alat yang digunakan untuk
memperkenalkan materi dan tugas baru guna membantu siswa mempelajari
suatu topik: diagram Venn untuk membandingkan informasi secara kontras,
diagram alir untuk menggambarkan proses, bagan organisasi untuk
menggambarkan hierarki, mnemonik untuk membantu mengingat, rubrik yang menyediakan tugas- tugas yang diharapkan.
|
Cue Cards
Kartu yang telah disiapkan untuk
dibagikan kepada siswa/kelompok siswa ketika akan mendiskusikan suatu
topik tertentu. Kartu tersebut memuat kosakata (istilah-istilah penting)
yang perlu dipahami, kalimat-kalimat dasar tentang materi yang harus
dilengkapi siswa, rumus-rumus.
|
Concept and mind maps
Peta konsep atau peta pikiran yang dibuat siswa berdasarkan pengetahuan dimilikinya
|
Examples
Menyediakan contoh, specimen, ilustrasi, masalah-masalah (pertanyaan).
|
Explanations
Menyediakan informasi lebih rinci dalam
bentuk instruksi tertulis tentang tugas-tugas yang harus dilakukan
siswa, memberikan penjelasan lisan tentang bagaimana proses kerja
|
Handouts
Menyediakan handout yang berisi tugas
dan informasi yang terkait dengan materi, disertai dengan ruang (kolom)
komentar atau catatan bagi siswa
|
Hints
Memberi saran dan petunjuk untuk mengalihkan langkah-langkah siswa” lihat halaman 31!”, “tekan tombol escape!”. lanjutkan ke halaman berikutnya”
|
Prompts
Memberi isyarat fisik (gesture) atau
verbal untuk membantu mengingat pengetahuan sebelumnya atau asumsi yang
telah dimiliki siswa. Fisik: gerakan tubuh seperti menunjuk, mengangguk
kepala, berkedip. Verbal: “Ayo!”, “Lanjutkan!”, “Ceritakan kepada saya!”, “Apa yang akan Anda lakukan! ”, “Apa pendapat Anda tentang hal itu?”
|
Question Cards
Menyediakan kartu yang memuat
pertanyaan seputar materi yang diajarkan atau tugas-tugas khusus yang
diberikan kepada siswa/kelompok siswa untuk saling bertanya dan menjawab
tentang materi yang diajarkan.
|
Question Stems
Kalimat tidak lengkap yang yang harus
diselesaikan guna mendorong siswa berfikir lebih mendalam dengan
menggunakan perintah kalimat tanya “Apa yang terjadi jika…. (What if…)
|
Stories
Menceritakan materi yang kompleks dan
abstrak ke dalam situasi yang lebih akrab dengan siswa untuk
menginspirasi dan memotivasi siswa.
|
Visual Scaffolds
Menekakan perhatian tentang suatu
objek, melalui gerakan tubuh (gesture) yang relevan; menyediakan diagram
dan grafik, menggunakan metode highlighting informasi visual (huruf miring, warna yang berbeda, huruf tebal, kedip)
|
Jika kita berpegang pada Permendikbud No.65/2013 tentang Standar Proses Pembelajaran,
yang di dalamnya mengisyaratkan tentang pentingnya penerapan pendekatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa, maka penguasaan guru tentang Pembelajaran Scaffolding ini tampaknya menjadi penting agar siswa dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.
No comments:
Post a Comment