Tuesday, November 24, 2015

Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis

2.1. Dimensi Ontologi

2.1.1. Definisi Ontologi

Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta yang berarti ‘yang berada’, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian Ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada. (Dr. A. Susanto, M.Pd. 2011)
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636. Ontology tersebut diperkenalkan untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya metafisika terbagi menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontology. (Christian Wolff, 1679-1757)
Dengan demikian, metafisika umum atau ontology merupakan cabang dari disiplin ilmu filsafat yang mempelajari prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih terbagi kedalam kosmologi, psikologi, dan teologi. Kosmologi merupakan cabang ilmu yang secara khusus membahas tentang alam semesta. Psikologi merupakan cabang ilmu filsafat yang secara khusus membahas tentang gejala-gejala jiwa manusia. Sedangkan  teologi merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas tentang Tuhan.
Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologism sebagaimana adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis. Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian atau penelitian berdasarkan epistimologi keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut maka langkah pertama adalah melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einsten dalam Zainuddin (2006: 27) bahwa : “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apa pun teori yang disusunnya”.
Memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatic ke dalam argumentasi ilmiah hanya akan mendorong ilmu surut kebelakang (set back) ke zaman pra-copernicus dan kemungkinan mengundang berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642) pada zaman modern.

2.1.2. Objek Kajian Ontologi

Objek kajian telaah ontology adalah semua yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada, yaitu Tuhan yang maha esa, pencipta dan pengatur serta penentu alam semesta.
Objek formal ontology adalah seluruh realitas. Bagi pendekatan kualitatif, kualitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi telaah monism, paralelisme, atau pluralism. Bagi pendekatan kualitatif realitas akan tampil menjadi aliran materialism, idea-lisme, naturalism, atau hilomorphisme.
A.    Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkat abstraksi dalam ontology, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; abstraksi bentuk mendeskripsikan metafisik mengenai prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau  oleh ontology adalah abstraksi metafisik. Metode pembuktian dalam ontology oleh Lorens Bagus dibedakan menjadi dua, yaitu: pembuktian apriori dan pembuktian a posteriori.
B.     Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat ‘keluarbiasaan’ (beyond nature), yang berada diluar pengalaman manusia (immediate experience).Metafisika mengkaji sesuatu yang berada diluar hal-hal yang biasa yang berlaku pada umumnya (keluarbiasaan), atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada diluar kebiasaan atau diluar pengalaman manusia. (Asmoro Achmadi, 2005: 14)
Singkatnya, metafisika adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada dibelakang gejala-gejala yang nyata. Jika ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika juga ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindra.
Manusia berpendapat bahwa di alam ini terdapat wujud-wujud supranatural (bersifat gaib)  yang mana wujud-wujud tersebut lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata. Animism (roh-roh bersifat gaib yang terdapat pada benda, seperti batu, pohon) merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supranaturalisme. Lalu ada paham naturalisme yang menolak secara keras paham supranaturalisme, paham naturalisme berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri.
C.     Asumsi
Asumsi merupakan pendapat yang telah didukung oleh beberapa teori dan fakta yang dapat dibuktikan secara rasional. Yang berkenaan dengan konsep-konsep, dan pengandaian-pengandaian. Dengan demikian, filsafat ilmu erat kaitannya dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang digunakannya, dan juga dengan perluasan serta penyusunan yang lebih ajeg dan lebih tepat untuk memperoleh pengetahuan.

2.1.3. Aliran-Aliran dalam Metafisika Ontologi

Di dalam pemahaman atau pemikiran ontology dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, seperti: Monoisme, dualisme, pluralisme, dan agnitisisme. Berikut ini akan dijelaskan tentang pokok-pokok pemikiran tersebut.
A.    Aliran Monoisme
Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi maupun berupa ruhani. Tetapi aliran monoisme pun terbagi menjadi dua, yaitu:


1.      Aliran Materialisme (Naturalisme)
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu materi, bukan rohani. Menurutnya zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya cara tertentu.
2.      Aliran Idealisme (Supranaturalisme)
Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka raga mini berasal dari ruh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah salah satu bentuk dari penjelmaan ruhani
B.       Aliran Dualisme
Aliran dualism adalah aliran yang mencoba memadukan dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi atau ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karna adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karna materi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut.
Aliran dualisme memandang bahwa alam terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya. Aliran dualisme merupakan paham aliran yang serba dua, yaitu antara materi dan bentuk. Menurut paham dualisme, didalam dunia ini selalu dihadapkan kepada dua pengertian, yaitu ‘yang ada sebagai potensi’ dan ‘yang ada sebagai terwujud’. Keduanya adalah sebutan yang melambangkan materi (hule) dan bentuk (eidios).

C.       Aliran Pluralisme
Paham pluralisme berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralism bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu nyata adanya. Pluralism sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan ala mini tersusun dari banyak unsure, lebih dari satu atau dua entitas.

D.    Aliran Nikhilisme
Selanjutnya pada aliran nikhilisme  menyatakan bahwa dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Aliran ini tidak mengakui validitas alternative positif. Dalam pandangan nikhilisme, Tuhan sudah mati. Manusia bebas berkehendak dan berkreativitas.


E.     Aliran Agnotisisme
Sedangkan aliran agnotisisme menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu, air, api, dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh indranya maupun oleh pikirannya. Paham agnotisisme mengingkari kemampuan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani.

2.1.4. Teologi

Teologi juga merupakan bagian dari kajian bidang ontologi. Dalam kamus teologi, dijelaskan bahwa teologi dalam bahasa Yunani artinya pengetahuan mengenai Allah, yaitu usaha meyodis untuk memahani dan menafsirkan kebenaran wahyu (gerald O’Collins dan Edward G., 2001; 314). Dalam bahasa latin teologi dairtikan ‘ilmu yang mencari pemahaman’, maksudnya dengan menggunakan sumber daya rasio, khususnya ilmu sejarah dan filsafat, teologi selalu mencari dan tidak pernah sampai pada jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai.
Sedangkan yang dimaksud dengan teologi dalam ruang lingkup filsafat metafisika, adalah filsafat ketuhanan yang bertitik tolak semata-mata kepada kejadian alam. (Sudarsono, 2001 : 129). Pembahasan filsafat ini mengkaji keteraturan hubungan antara benda-benda alam sehingga orang meyakini adanya pencipta alam atau pengatur alam tersebut.
Teologi dalam kajian filsafat metafisika memliki arti penting dalam pemikiran kefilsafatan. Pemikiran tersebut muncul sejak dari para filosof Yunani, kemudian dilanjutkan oleh kaum Sophi dan masa Sokrates, juga filsafat pada abad pertengahan, terutama dengan hadirnya filosof kristen, hingga perkembangan filsafat dewasa ini.


2.2. Dimensi Epistemologi

2.2.1. Pengertian Epistemilogi

Epistemologi sering juga disebut teoi pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi bersal dari bahasa Yunani episteme, yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori. Jadi, epistemologi dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan syahnya (validitas) pengetahuan.
Menurut Conny Semiawan dkk., (2005 : 157) epistemologi adalah cabang filsafat yang menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori pengetahuan. Epistemologi memfokuskan pada makna pengetahuan yang dihubungkan dengan konsep, sumber dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan sebagainya.
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Perbedaaan mengenai pilihan landasan ontologi akan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal, budi, pengalaman, atau kombinasi antara akal budi dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dengan epistemologis, sehingga dikenal dengan adanya model-model epistemologis  seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, atau rasionalis kritis, postitivisme, fenomenologis, dengan berbagai variasinya. Pengetahuan  yang diperoleh manusia melalu akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah sebagai berikut.
A.    Metode Induktif
Induksi yaitu suatu objek yang menyampaikan pernyataan-pernyataan hasil obeservasi dan disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.
B.     Metode Deduktif
Deduksi ialah metode yang menyimpulkan bahwa data-data empiris diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.
C.     Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, dan yang positif.



D.    Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang akan dihasilkan pun akan berbeda-beda. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi ini dapat diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
E.     Metode Dialektis
Dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga nalisis sistematis tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

2.2.2. Persyaratan Epistemologis

Ilmu harus memiliki dasar pembenaran, bersifat sistematis dan sistemik serta bersifat intersubjektif. Ketiga ciri tersebut saling terkait dan merupakan persyaratan bagi pengetahuan untuk disebut sebagai pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Persyaratan tersebut menurut  Conny R. Semiawan (2005 : 99) adalah sebagai berikut.
A.    Dasar pembenaran menuntut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus dirasakan atas pemahaman apriori yang juga didasarkan atas hasil kerja empiris.
B.     Semantik dan sistematis masing-masing menunjuk pada susunan pengetahuan yang didasarkan pada penyelidikan (research) ilmiah yang keterhubungannya merupakan suatu kebulatan melalui komparasi dan generalisasi secara teratur.
C.     Sifat intersubjektif ilmu atau pengetahuan tidak dirasakan atas intuisi dan sifat subjektif orang seorang, namun harus ada kesepakatan dan pengakuan akan kadar kebenaran dari ilmu itu didalam setiap bagian dan didalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut, sehingga tercapai intersubjektivitas.

2.2.3. Aliran-Aliran dalam Epistemologi

Secara garis besar, terdapat dua aliran pokok dalam dimensi Epistemologi. Kedua aliran tersebut adalah alirann rasionalisme dan empirisme, dari kedua aliran ini kemudian lahirlah aliran isme yang lainya, misalnya rasionalisme kritis (kritisime), fenomenalisme, instuisionisme, positivisme, dan seterusnya.
Rasionalisme adalah suatu aliran yang pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide sebagai bagian yang sangat menentukan hasil keputusan atau pemikiran. Hasil pemikiran filosof pada jaman klasik hingga kini pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini, rasio dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologis idealisme atau spiritualisme, dan dari indera lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologis materialisme. Rasionalisme timbul pada masa renaissance yang dipelopori oleh Rene Decrates, seorang yang berkebangsaan prancis yang dijuluki sebagai “bapak filsafat modern”.
Rasionalisme dikembangkan berdasarkan “ide” dari Plato. Bagi Plato, alam ide adalah alam yang sesungguhnya yang bersifat tetap tak berubah-ubah. Plato berpendapat bahwa hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah. Menurut Plato, ilmu pengetahuan yang bersumber dari panca indera diragukan kebenarannya.
Sedangkan filsafat empiris berasal dari filsafat yang dikembangkan oleh aristoteles, yang mengatakan bahwa realitas yang sebenarnya adalah terletak pada benda-benda konkret, yang didapat oleh indera,bukan pada ide sebagaimana yang disebutksn oleh Plato. Jadi, menurut Aristoteles sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris.
Filsafat empirisme dikembangkan oleh filosof-filosof inggris seperti F.Bacon, Thommas Hobbes, John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Menurut John Locke, ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris. Bagi Locke, manusia dilahirkan dalam keadaan bersih,bagaikan kertas putih yang lebih dikenal dengan teori tabularasa, di mana melalui kertas putih inilah tercatat pengalaman-pengalaman inderawi. Dia memandang akal sebagai tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut.


2.3. Dimensi Aksiologis

2.3.1. Pengertisn Aksiologis

Istilah aksiologis berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah ‘teori tentang nilai’. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yabg dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan estetika.
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juga menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praktis.

2.3.2. Objek Aksiologis

Aksiologis memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika). Aksiologis ini juga mengandung pengertian lebih luas dari pada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi).
Filsafat ilmu juga menyibukan diri dengan berbagai masalah yang datang dari konsep-konsep khusus dalam statistik, pengukuran, teologi, misalnya penjelasan peristiwa-peristiwa dipandang dari tujuannya atau kesudahannya, penjelasan sebab-musabab, hubungan antara ilmu-ilmu yang berbeda, keadaan di mana satu ilmu berkurang untuk ilmu lain, dan konsep-konsep spesifik mengenai ilmu-ilmu satu per satu.
Dilihat dari jenisnya, paling tiddak terdapat dua bagian umum dari aksiologi dalam membangun filsafat ilmu ini, yaitu meliputi etika dan estetika.
1.      Etika
Etika disebut sebagai kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai). Etika merupakan standar prinsip atau standar prilaku manusia, yang kadang-kadang disebut dengan “moral”. (Conny R. Semiawan).
Ditinjau secara filosofis, sangat sukar mengatakan semua itu sebagai hal yang objektif, sebab boleh dikatakan segala sesuatau boleh dikatakan mengenai hampir semua keberadaan di alam ini adalah hasil kesepakatan, yang dipelopori oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang dipandang memiliki otoritas dalam suatu bidang, yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Meskipun demikian dapat disimpulkan bahwa sifat ilmu pengetahuan pada umumnya universal, dapat dikomunikasikan dan progresif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruknya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
2.      Estetika
Estetika mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hekikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang esteris dari suatu pengetahuan ilmiah tersebut.
A.    Universal
Universal berarti berlaku umum. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh ilmu atau pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu harus berlaku umum, lintas ruang dan waktu, paling sedikit di bumi ini. Ini juga dapat berarati hukum-huum fisika yang berlaku di Indonesia juga berlaku di Amerika Serikat, baik sekarang maupu seratus tahun yang lalu, dengan beberapa catatan, misalnya kondisi-kondisi yang rekevan di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dibandingkan itu sama.
B.     Dapat Dikomunikasikan (communicable)
Maksudnya, apabila bahsa tidak merupakan kendala, pengetahuan itu bukan saja dimengerti sebatas artinya, tetapi juga maknanya. Jadi, memberikan pengetahuan baru kepada orang lain dengan tingkat kepercayaan cukup besar. Terpenuhinya dengan baik sifat intersubjektif suatu pengetahuan sangat membantu menjadi communicable.


C.     Progresif
Progresif dapat diartikan sebagai adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan. Sifat ini merupakan salah satu tuntutan modern untuk ilmu. Sifat ini sangat didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu skeptis, menyeluruh (holistic, comprehensive). Mendasar (radical), kritis, dan analitis yang menyatu dalam semua imajinasi dan penalaran ilmiah.


3.1. Kesimpulan

Didalam filsafat ilmu, ada kajian tentang filsafat ilmu, yaitu dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Masing-masing dimensi memiliki pengertian yang berbeda. Bukan hanya pengertian, masing-masing dimensi juga memiliki objek kajian, aliran, serta metode pembahasan masing-masing.
Ontologi yang merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada, membahas tentang segala sesuatu yang jelas adanya. Misalnya, ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada.
Epistemologi atau sering juga disebut dengan teori pengetahuan, membahas dan menyelidiki asal-usul, susunan, metode-metode, dan sah nya pengetahuan. Di dalamnya terdapat berbagai macam metode, seperti metode induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Kemudian ada aliran dalam epistemologi yaitu aliran rasionalisme dan aliran empirisme yang keduanya memiliki ciri khas tersendiri yang saling bertolak belakang.
Lalu yang terakhir ada dimensi aksiologis yang membahas ‘teori tentang nilai’. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada pada permasalahan etika dan estetika. Objek yang dibahas dalam aksiologi adalah tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai tinggi dari tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika).


Susanto, Ahmad. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.
Achmadi, Asmoro. 2005. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Cet. II. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Sudarto. 1996. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Edwards, Paul. 1972. The Encyclopedia of Philosophy. New York: Macmillan Publishing.
Komara, Endang. 2011. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: PT. Refika Aditama

No comments: